Tuesday, November 3, 2020

Cluster Family of COVID-19: "Why Afraid of Death

 KLUSTER KELUARGA COVID-19:
“Tentang Ketakutan Atas Kematian”

Oleh: Emilianus Elip

 

Merebaknya pandemi COVID-19 sejak kira-kira awal tahun 2020 ini mungkin menjadi fenomena yang paling menakutkan, dramatis, tetapi juga menarik untuk dicermati dan diperbincangkan. Menakutkan, oleh karena virus ini begitu cepat menyebar dan membunuh banyak orang. Pernah diberitakan bahwa beberapa pakar telah menghitung secara metematis, virus ini akan membunuh orang secara cepat berlipat-lipat hanya dalam hitungan minggu dan bulan. Informasi mengenai cara penyebarannya pun berubah-ubah, ciri-ciri terpapar juga berganti-ganti, bahkan diinformasikan juga bahwa ada orang terpapar virus ini tanpa tanda-tanda gejala. Menakutkan!!, karena kita menghadapi virus bak setan gentayangan.

Sepi nyenyet...nggegirisi” (sepi campur rasa takut dan was-was). Sejak Protokol Kesehatan Pencegahan COVID-19 diberlakukan...dunia serasa tenang, lengang, udara lebih segar, langit kelihatan indah...tetapi tetap was-was. Dramatis karena terminal sepi, bandara sepi, mall tutup, cafe-cafe tutup, jalanan lengang, sekolahan sepi, universitas sepi... Acara-acara yang mengundang masa atau peserta berhenti, pesta perkawinan ditunda, lokakarya, seminar, rapat ditunda, bahkan upacara kematian sepi pelayat. Desa-desa, dusun, dan perumahan diberi “palang pembatas” tamu dilarang masuk...bagaikan akan ada demo masal perusak, perompak, atau perang antar kampung yang bisa bikin kacau balau.

Akhirnya perekonomian mulai terpuruk. Banyak Pemda takut atau malu dikatakan wilayahnya masuk “zona merah”. Pelabelan zona merah semakin diperkecil teritorialnya, mungkin untuk menumbuhkan kewaspadaan atau penebar rasa takut agar orang makin berhati-hati: kecamatan zona merah, mall yang kena zona merah, bank yang disinyalir zona merah, pasar yang zona merah, dll. Hebatnya lagi, propaganda mengenai “zona merah” itu teritorialnya semakin di persempit mencapai titik terkecil dalam kebudayaan manusia: yaitu keluarga.

Kluster Keluarga COVID-19

Beberapa bulan kemudian sejak pandemi COVID-19 menebar, baru muncul fakta dan data tentang adanya kluster keluarga COVID-19. Ini terbukti dengan adanya fakta bahwa di dalam keluarga ada beberapa anggota keluarga yang positif COVID-19. Saya tidak begitu kaget dengan kasus kluster keluarga ini, sebab sejak ditemukannya data pertama kali seseorang positif COVID-19, saya sudah menduga keluarga cepat atau lambat pasti akan kena imbasnya. Bukankah setiap individu memiliki keluarga?! Memang aneh, fenomena COVID-19 ini bagaikan fenomena “gunung es”. Orang sampai tidak terbuka, tidak terima kalau anggota keluarganya diduga, ditengarahi, apalagi ditetapkan positif COVID-19. Orang terjangkiti virus ini bagaikan dipandang sebagai “pendosa”. Penyakit COVID-19 seakan-akan penyakit para pendosa. Apalagi secara medis, memang perlakuan standardnya harus “disendirikan”, semacam direhabilitasi atau dikarantina ditempat khusus. Kemudian berkembang menjadi “karantina mandiri” sebab tidak ada tempat lagi pelayanan publik mampu menampung orang dengan gejala kasus maupun kasus positif yang melonjak cepat.

Pada komunitas-komunitas etnis atau suku-suku tertentu ada perilaku adat yang “menyingkirkan”, menyendirikan, semacam membuang atau menjauhkan anggota masyarakat tertentu yang terkena “penyakit” aneh. Penyakit aneh sebab orang-orang yang terkena penyakit ini tidak mampu lagi disembuhkan oleh “sang dukun”, atau tetap saja tidak sembuh setelah diadakan ritual adat penyembuhan. Mereka disingkirkan jauh dari komunitas agar tidak menulari, sampai ajal menjemput. Sisa-sisa struktur perilaku semacam itu masih ada di zaman modern ini, tentu dengan penanganan medis yang lebih modern, seperti misalnya orang dengan penyakit lepra, ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) apalagi yang dipasung, orang dengan penyandang kebutuhan khusus, dll. Dan saat ini yaitu, orang dengan kasus positif COVID-19.

Keluarga adalah tempat, atau lokasi, atau katakanlah teritorial terkecil dari sebuah komunitas dan masyarakat beserta kebudayaannya. Disanalah diproduksi,  diregenerasi sekaligus diperbaharui interaksi sosial, produksi norma dan tatasusila, disosialisasikan nilai-nilai mengenai kebaikan-keburukan, sopan santun, kasih sayang antar sesama, cinta, toleransi atas perbedaan, semangat hidup, serta kreativitas manusia. Berpelukan, mengelus-elus, mengusap muka anak, menyuapi, berjabat tangan, beridkusi di meja makan, bercerita tentang kepahlawanan-pengorbanan-cinta sesama, dll merupakan beberapa praktik-praktik paling bagus dan indah di dalam keluarga. Atas nama meredam pandemi COVID-19 mampukah protokol social-distancing dan physical distancing membatasi perilaku-perilaku kebudayaan manusia di dalam keluarga?

Saya tidak berani mengajukan faktar secara teoritik dan ilmiah karena keterbatasan saya memperoleh informasi tentang hal itu. Namun sejauh pengamatan saya terhadap keluarga-keluarga di lingkungan tempat tinggal saya (entah keluarga muda maupun keluarga yang sudah punya anak gede-gede), dilingkungan saudara-saudara saya sendiri, maupun di lingkungan keluarga teman-teman saya, saya cukup berani memastikan bahwa social-distancing dan physical distancing tidak mampu berbuat banyak. Hanya cuci tangan dengan sabun, basuh muka, atau mandi setelah pergi jauh, itu yang bertahan. Itupun tidak dengan disiplin tinggi. Menerima tamu dan handai tolan, sudah mulai amat terbuka. Lepas masker, itu yang jelas-jelas terjadi di dalam keluarga. Apakah semua itu mau di sweeping? Silahkan saja kalau pingin cari gara-gara dan chaos!!

Sepertinya sudah tidak ada rasa takut terkena COVID-19 di dalam keluarga. Kalau was-was mungkin tetap saja ada. Hantu gentayangan virus COVID-19 hanya ditakuti di tempat-tempat publik. Itu pun nampaknya sudah tidak terlalu menakutkan. Lihat saja di jalanan mulai ramai dan semrawut, cafe-cafe mulai ramai, warkop penuh, bank-bank juga mulai antri banyak orang, pasar pun penuh sesak pedagang dan pembeli. Bahkan ada pedagang-pedagang pulang pergi antar kota yang berjualan di pasar tertentu antara Yogya-Solo-Klaten-Boyolali-Magelang-Purworejo, dll.

Tentang Kepunahan, Kematian dan Kebudayaan

Sejarah kematian di dalam proses hidup manusia dan komunitasnya oleh sebab penyakit, virus, bakteri, atau apa saja dalam istilah medis sudah berlangsung sangat panjang, mungkin sudah berabad-abad. Pertama-tama yang terjangkiti pastilah “individu” yang merupakan anggota sebuah keluarga. Yang sejauh saya kenal, kelahiran angkatan 1963 an, yaitu seperti lepra, malaria, demam berdarah, pembantaian komunitas atas ras Yahudi, flu burung, dan yang terakhir ini virus Corona. Kakek nenek moyang kita, atau pada zaman Majapahit, zaman Mesir Kuno, mungkin sudah banyak penyakit atau virus yang melanda umat manusia dan kebudayaannya secara berganti-ganti. Mungkin oleh karenanya, ada pula komunitas kebudayaan manusia yang terlalu kecil secara jumlah dan teritorialnya, yang kemudian punah tanpa kita ketahui sejarahnya.

Sampai detik ini manusia dan kebudayaannya tetap eksis. Eksistensi ini bahkan masih bisa ditelusuri sejarah kebudayaannya yang berakar beratus-ratus abad yang lalu. Jadi kesimpulan saya dengan pengetahuan sempit ini adalah, bahwa manusia melalui kebudayaannya, telah menciptakan perangkat pengetahuan untuk mengatasi krisis yang menyerang kehidupannya, baik krisis akibat perang, akibat penyakit, akibat virus, bencana alam, krisis langka pangan, dll. Semakin berat-menghujam krisis itu, kebudayaan manusia juga cepat atau lambat akan menyesuaikan dan mampu mengatasinya.

Proses seseorang menuju kematian selalu menumbuhkan rasa takut, kekecewaan dan penyesalan, kesedihan, bahkan depresi berkepanjangan, baik bagi yang sedang sekarat maupun anggota sanak-keluarga dan handai taulan. Krisis yang menyebabkan kematian selalu datang lebih awal, kemudian proses upaya penyembuhan atau penyelamatan, kemudian jika gagal terjadilah kematian. Selalu ada jeda waktu, yang bisa saja sangat panjang, antara krisis dan kematian. Manusia melalui perangkat kemampuan pikir dan kebudayaannya, menciptakan setidaknya dua hal. Pertama adalah kemampuan untuk menangkal atau mengobati, termasuk di dalamnya ritus pegobatan secara adat. Kedua adalah seperangkat prosesi adat-budaya termasuk nilai spiritualitas mengenai kematian. Kedua perangkat itu bermuara untuk mengurangi rasa takut, meredam kekecewaan dan kesediahan, respek atau memberi penghormatan, memaknai ulang arti kematian, dan menghidupkan “kenangan”.

Perangkat perilaku, norma, dan tata-nilai seputar menuju kematian dan kematian itu sendiri ternyata sangat bervariasi di setiap komunitas kebudayaan masyarakat. Seperti ditulis James Gire (2014)[1] “... even though we may use the same words to describe death, the actual meaning and conceptualization of death differs widely across cultures”. Konsepsi Barat tentang definisi kematian, yang sangat bersifat klinis-medis ....referring to the absence of heartbeat and respiration, was the basis on which a person was deemed to be dead.

Pada beberapa etnis di budaya Pasifik Selatan, kematian didefinisikan sebagai perjalanan sang tubuh menuju ke bentuk yang lain. Kematian tidak ubahnya bagaikan orang yang sedang tidur. Kematian, pada kelompok-kelompok budaya tersebut, dengan demikian bisa terjadi berkali-kali. Pada kelompok-kelompok etnis dengan budaya berbasis Hinduisme, ditambahkan dalam papernya James Gire, bahwa kehidupan ini bagaikan sebuah pola bentuk, kematian hanyalah satu jalan untuk terlahir kembali pada pola kehidupan baru. Mungkin inilah yang dimaksud dengan “reinkarnasi”. Kematian ternyata sebuah “reborn” (terlahir kembali). Saya menjadi mengerti mengapa rangkaian ritual kematian dalam masyarakat Hindu di Bali, termasuk mungkin adat ngaben, dirayakan penuh kemegahan dan kemeriahan. Merayakan “kelahiran kembali” dengan dihiasi ritual adat tarian, arak-arakan, dipenuhi ornamen budaya yang rumit-indah dan megah.

Pada komunitas masyarakat berbasis agama Samawi, hanya dikenal satu kali kematian, yaitu kematian ragawi (body), yang ditandai mirip dengan definisi kematian klinis-medis Barat. Namun mereka percaya bahwa roh atau jiwa si mati tetaplah hidup untuk menuju ke kehidupan baru sesuai amal perbuatannya selama masih hidup. Berkaitan dengan hal terakhir ini, maka dikenal konsep kehidupan “surga” dan “neraka”. Belum pernah terdefinisikan secara pasti bagaimana bentuk kehidupan di surga atau neraka itu. Namun nampaknya surga adalah untuk hal yang baik-baik, dan kehidupan neraka adalah untuk hal yang buruk dan sengsara. Kedua bentuk kehidupan tersebut selalu dikaitkan dengan “amal perbuatan si mati selama masih hidup”. Tidak ada satupun manusia yang masih hidup ingin nantinya hidup di neraka, begitulah kira-kira. Oleh karena itu, seorang bajingan, pembunuh, perampok, koruptor kelas kakap, dll selalu didoakan oleh manusia yang masih hidup, agar dosa-dosanya diampuni dan diterima dikehidupan surgawi.  

Ketakutan Akan Kematian dan Kenangan

Seperti sudah saya singgung sebelumnya, kematian manusia dari zaman ke zaman oleh karena virus, penyakit, kelaparan, atau pembantaian etnis dan bencana alam, sudah silih berganti terjadi. Pun mungkin sudah pernah kita dengar dan lihat “pemakaman masal”, dimana bertumpuk-tumpuk jenazah dijadikan satu dalam satu pemakaman, yang mungkin sudah sulit dikenali oleh keluarganya. Agama dan adat kebudayaan manusia tetap memuliakannya dengan prosesi dan doa-doa. Tetapi saya merasakan, berhadapan dengan virus COVID-19 ini agak cukup jelas terasa ketakutan manusia akan kematian.

Orang-orang tidak terima mati hanya gara-gara COVID-19. Padahal kematian bisa disebabkan oleh banyak hal: kepleset di kamar mandi bisa menyebabkan mati; insiden tabrakan, penyakit jantung, stroke dan darah tinggi, demam berdarah, malaria, gagal ginjal, perang, demo masal, dan bermacam-macam lainnya. Ketika COVID-19 ini merebak, geng yang ditakuti di Yogya yakni “geng klithih”, nampaknya juga melempem tak bergerak. Takut juga rupanya mereka dengan virus setan tak terlihat COVID-19.

Proses menuju kematian dan kematian itu sendiri mungkin menakutkan! Proses menuju dan kematiannya sendiri, oleh si sekarat mungkin sudah terbayangkan sangat merepotkan, menyedihkan, atau menyisakan penyesalan yang tidak terselesaikan. Oleh karena itu, di dalam papernya James Gire, dari sudut kesiapan dijemput sang ajal, dipaparkan adanya jenis kematian “yang wajar” dan jenis kematian “yang tidak diharapkan”. Pada orang-orang jompo dengan umur panjang, mereka digambarkan lebih siap menerima kematian, begitu pun sanak saudaranya lebih siap menerima kematiannya. Kematian yang tidak diharapkan adalah kematian yang sifatnya mendadak seperti kecelakan, serangan jatung, dibunuh, epidemi, akibat demam berdarah, dll. Keluarga si mati tentu saja juga tidak siap, tidak terima, teramat sulit untuk pasrah.Termasuk dalam jenis ini, nampaknya kematian akibat virus COVID-19.

Menariknya, di dalam paper James Gire (2014) “How Death Imitates Life: Cultural Influences on Conceptions of Death and Dying”, dipaparkan pula bahwa ketakutan akan “kematian yang tidak diharapkan” sangat bervariasi di antara kelompok kebudayaan dan keagamaan. Singkatnya adalah, manusia berusaha untuk mengatasi ketakutan atas sebuah kematian dengan menciptakan atau mengkreasikan pandangan mengenai dunia baru “sesudah mati”. Oleh karena itu, kehidupan agama sebagai bagian dari kebudayaan manusia telah dirumuskan sedemikian rupa untuk mengatasi atau menerima peristiwa kematian, baik kematian yang wajar maupun kematian yang tidak diharapkan[2]. Implikasinya adalah bahwa orang yang berasal dari budaya-agama yang cukup kuat sistem kepercayaannya atas adanya kehidupan sesudah mati, lebih mampu atau cepat menerika/meredakan ketakutan atas kematian. Sementara orang yang hidup dari sistem budaya-agama yang tidak/kurang kuat sistem kepercayaannya atas adanya kehidupan sesudah mati, cukup tinggi ketakutannya atas kematian apalagi kematian yang tidak diharapkan.

Dari sudut bahasan yang lain, kematian itu akan menumbuhkan “kenangan”. Keterpisahan jarak saja menciptakan kenangan, apalagi kematian. Upacara atas kematian seseorang akan begitu-begitu saja bentuk dan jenisnya, tergantung pada budaya dan agamanya. Bahkan si mati saja sudah tidak tahu bahwa dia sedang diberikan ritual-prosesi kematian. Imaji si mati tentang surga dan neraka, seperti saat dia masih hidup,  pun mungkin lenyap seketika saat dia mati. Kita manusia yang masih hidup inilah yang mengkonstruksi imaji “kenangan”, dengan cara sewajarnya tetapi kadang juga teramat aneh dan berlebihan. Kita memasang foto mereka yang sudah meninggal di rumah kita dan membuat tempat nisan yang indah-rapi di pekuburannya. Tapi juga, tahukah Anda ada pekuburan yang milyaran rupiah harganya. Namun sebagaimana kata pepatah, kehidupan itu ada batasnya. Kematian pun memiliki batasnya, begitu pula daya mampu kenangan manusia pun terbatas oleh waktu dan zaman.

Kenangan bisa saja berupa kenangan atas kebaikan, kebahagiaan, kesederhanaan, kemewahan, kedermawaan, kehangatan pergaulan, dll dari si mati. Tetapi bisa juga kenangan atas keburukan, keculasan, kelicikan, perilaku buruk, dll dari si mati. Socrates, Aristoteles, Michael Angelo, Mahatma Gandhi, Suster Teresa, Soekarno, Hatta, dll sebagai contoh saja, kita kenang karena kehidupannya yang unik, jiwa kepahlawanannya, bermanfaat bagi orang banyak, semangatnya, dll. Tetapi juga kita kenang pula sosok Hitler, Nietche, Musolini, dll sebagai orang kejam, tak beperikemanusiaan, dan ateis. Ada juga dari kedua kelompok ini yang menjadi legenda.

Persoalannya benarkah kita mengenal mengenang mereka sebagai sosok pribadi, ataukah kita sesungguhnya tinggal mengenal melalui buku-buku saja, papan nama jalan, nama rumah sakit, nama stasiun, dll. Ada banyak lagi orang baik, dan juga orang jahat, di masyarakat kita atau di bangsa negara kita yang tidak kita kenal, apalagi kita kenang. Beberapa generasi dari kita saat ini, apalagi berpuluh generasi kemudian, besar kemungkinan sudah lupa!

Adakah Konspirasi Dibalik COVID-19?

Saya sesungguhnya tidak berani menjawab pertanyaan di atas, apalagi dengan keterbatasan informasi dan kemampuan jangkauan olah pikir saya. Tetapi iseng-iseng saya ingin mencoba menjawab sejauh kemampuan logika saya saja. Harus kita akui bahwa akhirnya pandemi COVID-19  bukan hanya persoalan medis semata. Dampak yang ditimbulkan sudah begitu luas mencakup masalah ekonomi, budaya dan interaksi sosial, terpuruknya berbagai jenis bisnis, bahkan mungkin juga politik baik politik lokal, nasional, dan internasional. Bukankah mulai ada negara yang jelas melarang warga dari negara yang penanganan pandemi COVID-19 dinilai kurang baik, masuk ke negara dimaksud?!

Ada bisnis multinasional yang teramat besar saat ini, yaitu bisnis farmasi untuk menjual anti virus COVID-19. Negara-negara besar dan atau perusahaan farmasi multinasional, saya yakin tengah berlomba mengerahkan dana dan tenaga ahlinya untuk menciptakan anti virus dimaksud. Kabarnya Indonesia akan membeli anti virus COVID-19 dari Tiongkok, dan sesegera mungkin akan diberikan secara bertahap mulai dari para medis, kepolisian, mereka yang bekerja di sektor jasa dan publik, dan seterusnya. Mengapa beli dari Tiongkok? Apakah mereka yang sudah lebih dulu melakukan percobaan anti virus dimaksud dan cukup memberikan harapan? Apakah negara-negara lain belum ada yang seberhasil Tiongkok? Kalau benar Tiongkok lebih maju dan mendahului dalam penemuan anti virus dimaksud, mengapa WHO tidak segera memberikan pernyataan resmi?! Semuanya wallahualam...tetapi agak cukup jelas konspirasi internasional sudah turut bergerak.

Penutup

Berita resmi maupun yang katakanlah “tidak resmi” mengenai merebak-merajalelanya pandemi COVID-19 ini, bagaikan teror yang terencana sistematis. Seperti cukup terencana bahwa teritorial teror itu semakin-lama semakin diperkecil hingga yang disebut kluster keluarga. Namun seiring berjalannya waktu, nampaknya masyarakat seperti sudah tidak peduli. Secara tidak disadari mungkin ingin mengatakan “..ahh mati bukan karena COVID-19 saja!”. Yang jelas kita harus ikuti protokol yang sudah berlaku yaitu hidup sehat, pakai masker, menjaga jarak, dan sering-sering cuci tangan.

Pandemi COVID-19 seperti mengajarkan kepada kita bahwa hidup semakin tidak pasti. Kita secara individu bisa saja tidak tahu kita ini pembawa virus atau tidak. Orang yang kita perkirakan cara hidupnya sehat, rumahnya bersih, pergaulannya tidak sembarangan, ehh ternyata terkena COVID-19. Mereka yang hidup di wilayah-wilayah kotor dan kumuh, banyak yang tidak terkena COVID-19. Tidak pernah saya dengar ada kluster gelandangan dan orang yang hidup di jalanan, terkapar mati di trotoar karena imbas virus COVID-19. Jangan-jangan imun tubuh mereka lebih mantab dari pada kita yang sok hidup bersih. Atau kematian mereka tidak perlu diberitakan karena mereka dipandang sebagai individu yang tidak penting di dalam masyarakat. Saya cukup yakin mereka tidak takut mati karena COVID-19. Mereka lebih takut terhadap kelaparan yang lebih nyata dihadapi setiap jam setiap hari!

Strugle in life jangan hanya karena ingin terhindar dari COVID-19. Berjuang dan bertahan hidup karena memang masih banyak yang harus dilakukan manusia dalam hidup: berkarya, bergaul dengan orang lain, bekerja untuk mencari makan, berderma, berkumpul dengan sanak keluarga, saling memberikan semangat, menjalankan ibadah agama, dll. Peristiwa kematian, secara agama dan kebudayaan, sudah disiapkan ritus dan prosesinya berabad-abad lalu oleh yang masih hidup. Kenangan akibat peristiwa kematian, bagaikan hidup itu sendiri, yakni terbatas dan tidak abadi. 

Tidak relevan lagi kita takut mati karena pandemi COVID-19!!!


#  #  #



[1] How Death Imitates Life: Cultural Influences on Conceptions of Death and Dying. Copyright © 2014 International Association for Cross-Cultural Psychology. All Rights Reserved. ISBN 978-0-9845627-0-1 ( https://doi.org/10.9707/2307-0919.1120).

[2] Dengan mengutip dari van Biema, D. (2001, December 17). Suicide attacks: Why the bombers keep coming.
Time. Retrieved from http://www.time.com  dan Roggio, B. (2012, June 17). Boko Haram suicide bombers target Nigerian churches [Web log post]. Retrieved from http://www.longwarjournal.org/threat-matrix/archives/ 2012/06/boko_haram_suicide_bombers_tar.php, James Gire menambahkan bahwa perilaku “bom bunuh diri” yang pernah terjadi di Timur Tengah saat perang Irak-Iran, sesungguhnya bukanlah budaya-religiusitas kaum Muslim. Intinya yaitu bahwa munculnya praktik bom bunuh diri adalah hasil “cuci otak” kreasi teologis-ekstrim kelompok-kelompok tertentu atas janji kehidupan suci sesudah mati. Praktik bom bunuh diri tersebut pun sesungguhnya tidak mendapatkan perhatian antusias oleh orang-orang Muslim di sana.